Langsung ke konten utama

Nasi Goreng Merah di Mie Besak Pasar Kuto, Palembang


Pada bosen makan pempek nih?
Haha...istri saya begitu. Beliau sampai bingung, pas libur kemarin di mana-mana tiap hari makan pempek. Pagi, siang, sore, malam.

Memang begitulah adanya kalau lagi di Palembang. Cuma beda rupa-rupa aja. Ada "pempek" berkuah santan, namanya Celimpungan dan Laksan. Ada pempek digoreng terus pakai kuah udang, disebutnya Model. Kalau yg rebus dan kecil-kecil pakai kuah udang juga, namanya Tekwan. Not to mention, pempek in regular shape as people know: Kapal Selam, Lenjer, Adaan.

Dan yang jual, bukan cuma 1 - 2 orang lho. Tapi banyak sekali.
Contohnya di dekat rumah kami, di Plaju. Di penggal 1 km itu ada puluhan penjual pempek. Hampir tiap 100 meter ada yang jual. Berupa warung ataupun gerobak. Ada Apy, Vico, Akiun, Flamboyan, Sentosa, Paforit, dan lain-lain yang tak bermerk. Benar-benar Kota Sejuta Pempek.

Wow...amazing! dan bikin klenger-blenger istri saya. Hehehe.

Hingga suatu sore ia bilang, “Gimana kalau kita makan yg lain aja yu! Selain pempek."

“Oks, ayo kita makan pindang!”

“Oh no! Not again...,” said my wife.

Sebabnya, Palembang juga Kota Sejuta Pindang. Hehe. Ada Pindang Baung (ini yang paling umum), Pindang Udang, dan Pindang Tulang. Dan yang jual juga banyak dengan beragam variasi. Sebut saja Pindang Meranjat (pakai terasi), Pindang Kuyung (khas Sekayu), Pindang Sopia (pakai udang satang besar-besar), Pindang Musi Rawas, Pindang Sekanak, dan Pindang Pondok Kelapa.

“Yang lain selain pempek dan pindang”, kata istri saya.
“Dan juga bukan Martabak HAR”, ujarnya segera. Lugas mendahului sebelum saya sempat menjawab demikian.

Maka bingunglah anak mudo...

Memang ada Roti Komplit, Bakmi Bangka, dan lain-lain, tapi secara stereotip, khasnya Palembang ya tiga macam kuliner tadi itu.

Hmmm... Untunglah ada Ridho, tour guide kami yg ikut dengar dan kasih rekomendasi,
"Makan Mie Besak bae, Kak!"

“Oww... Apa tuh?”

“Hmmm… Oke deh... (whatever it is), ayo kita ke sana!”

Letaknya di depan Pasar Kuto, di Jalan Segaran. Itu lho...pasar lama yang terkenal sebagai tempat jual duren. Di depan pasarnya, ada pertigaan. Nah, pas pertigaan itu ada warung kopi terkenal: H. Anang. Meski buka 24 jam, tapi lebih ramai yang datang pas sarapan pagi-pagi . Ada Celimpungan, Bubur Ayam, Burgo, Laksan, dan kue-kue tradisional Palembang (Kumbu Kacang Merah, Kumbu Kacang Hijau, Kojo, Engkak Ketan, dan lain-lain).

Nah, Mie Besak ini posisinya juga di dekat pertigaan itu, di sebelah Indomaret. Bangunan sangat sederhana, semi permanen dari kayu, bersebelahan dengan toko bikin gigi “Maju Jaya” dan Lorong Kebangkan. Gampang dikenali dari aroma harum masakan yang menyeruak tercium dari jauh, sampai ke pertigaan jalan tadi. Sebabnya, mereka masaknya di luar, di depan warungnya. Ada empat kuali. Dua kuali masak bumbu, yang lain masak nasi goreng, dan yang satu lagi mie besak.


Bumbunya sedap...harum menyeruak sepanjang jalan...

Entah apa bumbu yang dimasak, yang jelas aromanya harum dan menggugah selera. Jadi pengen buru-buru makan. Maka kami pesan nasi gorengnya 3 piring. Lho kok?

Ya, habisnya lihat nasi gorengnya dimasak, kelihatan enak sekali. Jadi ngiler pengen nasi goreng. Istri saya juga tiba-tiba pengen yang sama. Ridho juga. Katanya nasi gorengnya enak. Ya sud lah. Jadinya, kami di warung mie tapi makannya nasi goreng.

Tak apalah. Kan bumbunya sama saja, yakni bumbu rempah sedap mantap beraroma harum tadi itu. Lagipula, ternyata nama toko ini “Nasi Goreng Slamet”, bukan “Mie Besak Slamet”. Hehe…

Nasi Goreng Slamet, Pasar Kuto, Palembang

Teknis memasaknya cukup unik. Nasi gorengnya dimasak banyak-banyak satu wajan penuh pakai tungku arang (anglo). Mie nya juga. Nanti kalau ada yang pesan, barulah diambil sesuai porsi lalu dipanaskan. Mirip dengan cara memasak di Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih Jakarta.

Masaknya pakai anglo arang, seperti mie dan nasi goreng Jawa

Makannya pakai telor rebus (Rp 4.000), bagi yang mau. Sudah disediakan di meja. Tinggal diambil dan ditambahkan ke nasi goreng. Plus suir-suir ayam, acar timun dan emping. Warna nasinya merah karena pakai saos tomat, mirip-mirip nasi goreng malang. Tapi soal rasa, lebih mirip dengan masakan arab ya. Mungkin karena sama-sama pakai minyak samin. Cuma bedanya di sini aroma dari anglo arang memberi nuansa harum yang berbeda.

Nasi goreng merah Mie Slamet, Palembang

Harga Nasi goreng merah Slamet Rp 22 ribu. Yang makan di situ ramai dan beragam. Mulai dari anak muda gaul kota plembang, keluarga, sampai senior citizen. Ramai dan beraneka ragam.

Ramai yang makan di Warung Nasi Goreng Slamet di Pasar Kuto, Palembang

Alamat Nasi Goreng Slamet / Mie Besak
Depan Pasar Kuto, Jalan Segaran Kelurahan 9 Ilir, Palembang

Komentar

TAS PREMIUM INDONESIA

TAS PREMIUM INDONESIA
INDONESIAN PREMIUM BRAND

Postingan populer dari blog ini

Tempat Anak-anak Berenang di Palembang: Amanzi Waterpark

Ini dia nih topi kesayangan saya sekarang..Hehehe...Warnanya hitam, tulisannya " AMANZI ". Apaan tuh? Ini salah satu tempat berenang paling keren sejagat Palembang . Begini ceritanya.. Pada hari ketiga lebaran kemaren, tepatnya di Hari Jumat nan berbahagia..anak-anak saya mulai "gelisah". Sibuk bilang boring dan semacamnya. Mulai deh mereka menagih pengen berenang. Yah, memang dijanjiin juga sih. Waktu di perjalanan mudik kemaren, waktu menginap di Hotel Horizon Lampung mereka tidak sempat berenang di kolam renangnya. Yah,..mau gimana ya..waktu itu kan kitanya lagi kejar tayang. Check in malam, dan paginya sudah musti cabut lagi melanjutkan perjalanan ke Palembang. Terpaksa saat itu anak-anak dijanjikan, berenangnya nanti saja... Nah lho! Maka itulah mereka menagih. Just like elephants..kids never forget!   Maka pencarian pun dimulai…Buka-buka internet dan ada info beberapa hotel di Palembang yang membuka kolam renangnya untuk umum. Cukup bayar 10...

Rumah Makan Sunda di Bandung; Antara Ma' Uneh, Sawios, dan Ibu Hj. Cijantung

Taman Flexi di Bandung tempat main sepeda...Asyik.. Libur panjang ya? Asyik banget! Wisata ke Bandung lewat  Tol Cipularang tapi tidak lupa keluar tol sebentar buat mampir makan siang di Sate Maranggi yang asli . Yang di bawah hutan jati, Purwakarta itu lho... Nah, sore-sore menjelang maghrib kami sampai deh di Bandung. Kalau sudah di tanah Parahyangan tentunya pengen mencicipi yang khas dong. Maka daripada itu terpikirlah untuk makan di rumah makan Sunda favorit keluarga kami : Ibu Hj. Cijantung (dulu namanya Hj. Ciganea) . Dari exit tol Pasteur tinggal lurus saja, naik jembatan Pasupati sampai ujungnya, bermuara di Jalan Surapati. Ketemu lampu merah depan Gasibu, tinggal lurus saja sedikit. Pelan-pelan. Ada belokan pertama ke kiri – di sebelahnya RM. Sindang Reret. Nah, masuk ke situ. Itu namanya Jalan Merak (di situ ada toko kaos legendaris “ C59 “– yang angkatan-angkatan babe gua, tahun 90-an pasti tahu banget sama baju kaos ini). Tak jauh dari situ, tengok kiri...
Custom Search